ANALISIS
HUBUNGAN INTERTEKSTUAL
DAN
LATAR
BELAKANG SOSIAL BUDAYA
BABB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Puisi adalah jenis karangan yang dalam
penyajiannya sangat mengutamakan kegayaan kata. Kata yang bergaya merupakan
salah satu unsur terpenting yang selalu dipikirkan penyair dalam mengungkapkan
ide atau perasaannya. Puisi dapat juga diartikan sebagai karya sastra yang
dibuat sebagai hasil penghayatan atau refleksi seseorang terhadap kehidupannya.
Melalui puisi, seseorang ingin mencurahkan segala isi hatinya. Isi hati
tersebut tidak hanya berupa perasaan, tetapi juga pikiran, sikap, dan harapan
penulis terhadap objek yang sedang dihayatinya.
Dalam memahami sajak / puisi
diperlukan analisis-analisis tertentu, seperti dalam makalah ini yang akan
menganalisis “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)”
yang menggunakan analisis struktural dan semiotik. Analisis struktural
dalam gaya kepuitisan dan yang lebih penting yaitu analisis tentang adanya
vitalisme (semangat perjuangan) yang terdapat pada “Kumpulan sajak-sajak
Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” melalui analisis semiotik. Analisis
intertekstual antara sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar
Vitalisme yang ada pada diri Chairil
Anwar yaitu semangat atau spirit perjuangan dan kejuangan dalam mencapai
kemerdekaan bangsa. Chairil Anwar (Aku Ini Binatang Jalang, 1986) yang menutup
buku koleksi lengkap puisi Chairil, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai
sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawana. Bahkan sebenarnya
Chairil adalah salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial
dan politik bangsa.
Chairil memang penyair besar yang
menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk
perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini,
antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya
dari sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”, karya Archibald MacLeish
(1948). Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”, yang
merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi
17 Agustus 1945. Bahkan sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro” juga
banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata “Aku binatang jalang”
dalam sajak “Aku”, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia
untuk bebas merdeka. Sajak “Catetan TH.1946” juga merupakan karya Chairil Anwar
yang berkaitan pada masa Kemerdekaan Indonesia.
Pemakalah berharap besar dalam
adanya analisis struktural-semiotik “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini
binatang jalang)” ini mampu menjadi penawar bagi pembaca yang sempat teracuni
oleh sajian sastra yang ada, sehingga para penikmat puisi senja ini tidak lagi
keracunan terutama dalam memakai karya-karya Chairil Anwar, namun mengerti dan
memahami bahwa karya sastra memang tidak ada yang berubah secara menyeluruh,
hanya saja mengelupas dari kulit aslinya, dan membuat kulit yang baru, dimana
kulit baru itu suatu saat nanti juga akan mengalami hal serupa, terkelupas oleh
kulit-kulit barunya yang lain namun sesungguhnya tetap saja berdaging sama.
B.
Rumusan Masalah
Dalam analisis “Kumpulan sajak
Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” ini menggunakan analisis struktural
dan semiotik. Analisis struktural dalam gaya kepuitisan yang meliputi pemilihan
kata atau diksi, bahasa kiasan, citraan, dan sarana retorika. Analisis semiotik
yang menganalisis pada vitalisme (semangat perjuangan) yang terdapat dalam
“Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang), meliputi matriks atau
kata kunci, heuristik yang dianalisis pada vitalisme Chairil Anwar, hermeneutik
dalam perjuangan Chairil Anwar.
C.
Tujuan Makalah
Dalam makalah ini bertujuan untuk
menganalisis sajak-sajak Chairil Anwar dengan menggunakan analisis struktural
dan semiotik. Analisis struktural untuk mengetahui gaya kepuitisan yang
terdapat pada “Kumpulan sajak-sajak Chairl Anwar (Aku ini binatang jalang)”
dengan mengupas sajak-sajak seperti sajak “Krawang-Bekasi”, “Aku”, “Persetujuan
dengan Bung Karno”, “Catetan TH. 1946”. Analisis semiotik untuk mengetahui
adanya vitalisme (semangat perjuangan) yang terdapat pada “Kumpulan
sajak-sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” seperti sajak “Aku”,
“Persetujuan dengan Bung Karno”, “Diponegoro”, dan “Krawang-Bekasi”,
D. Manfaat Penulisan
Dapat memberikan pengetahuan
bagaimana Analisis- struktural semiotik dalam”Kumpulan sajakChairil Anwar (Aku
ini binatang jalang).Dapat memberikan pengertahuan kepada pembaca tentang
adanya vitalisme atau semangat perjuangan yang terdapat dalam diri Chairil
Anwar.Dapat memberikan pengalaman kepada para pembaca agar lebih mengerti
tentang karya sastra dan tidak teracuni dengan karya sastra tersebut.Dapat
memberikan motifasi kepada pembaca untuk lebih mengenal karya sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ANALISIS HUBUNGAN INTERTEKSTUAL
Prinsip intertekstual ini merupakan
salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra (sajak).Hal ini
mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis
sebelumnya.Dalam menanggapi teks-teks itu,penyair mempunyai pikiran-pikiran,gagasan-gagasan,
dan konsep estetik sendiri yang ditentuikan horison harapannya,yaitu
pikiran-pikiran, konsep,estetik,pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya.
Prinsip interteklstualitas ini
menempatkan para sastrawan (penyair) di tengah-tengah arus sastranya maupun
sastra dunia (universal).Ia selalu menanggapi, meresapi, menyerap karya sastra
lain dan mentransformasikannya ke dalam karya sastranya. Dengan demikian, ia
selalu menciptakan karya sastra asli sebab dalam mentransformasikan teks lain
itu sipengarang mengolah dengan
pandangannya sendiri,dengan horison harapannya sendiri
Dalam kesustraan Indonesia, hubungan
intertekstual antara suatu karya sastra dengan karya lain, baik antara karya
sezaman maupun zaman sebelumnya banyak
terjadi.Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi.
Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks
yang satu dengan teks yang lain itu. Unsur-unsur hipogram itu berdasarkan
resepsi,pemahaman,pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain
sebelumnya. Penunjukan terhadap unsur hipogram pada suatu karya dari
karya-karya lain, pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
Diksi atau pemilihan kata yang
digunakan dalam sajak “Aku” karya Chairil Anwar yaitu:
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Diksi atau pilihan kata yang
digunakan oleh penyair Chairil Anwar ini sangat terlihat pada kemantapan dan
semangat (vitalisme) yang menunjukkan ketegasan seperti: ‘ku mau, tak perlu sedan
itu, aku tetap meradang, aku akan akan lebih tidak peduli, dan aku mau hidup
seribu tahun lagi; juga ditandai oleh bunyi vokal yang berat: a dan u yang
dominan. Pernyataan diri sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar,
berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak
sombong terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain orang mempunyai kehebatan
juga ada cacatnya, ada segi jeleknya dalam dirinya.
BAHASA KIASAN
Bahasa kiasan yang digunakan dalam
“Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” yaitu:
1) Personifikasi
Personifikasi adalah majas kiasan
yang menggambarkan benda-benda mati seolaholah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari
metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara
seperti manusia. Personifikasi terdapat dalam sajak “Krawang-Bekasi”, yaitu:
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi
siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami
mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kenang, kenanglah kami
Kami
sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami
sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami
cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau
tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah
kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah
kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah
kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Personifikasi dalam sajak
“Persetujuan dengan Bung Karno” terlihat pada “Kami sekarang mayat, Berikan
kami arti” disini terlihat makna seakan-akan mayat yang secara sifatnya tidak dapat
birbicara,tetapi oleh Sang Penyair “Mayat” tersebut dapat berbicara seperti
manusia hidup dan berpesan “Berikan kami arti” dan seterusnya.
2) Metafora
Metafora ini bahasa kiasan seperti
perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata perbandingan, seperti gaya,
laksana, seperti dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantara
benda yang lain (Becker, 1978:317). Metafora yang terdapat dalam sajak
“Persetujuan dengan Bung Karno” yaitu:
PERSETUJUAN
DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung
Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Dalam sajak “Persetujuan dengan Bung
Karno” Metafora itu terlihat pada “Aku sekarang api aku sekarang laut”,
disini Sang Penyair mengibaratkan dirinya seperti laut dan api, mempunyai
sifat-sifat seperti api yang selalu membakar dan panas. Menpunyai sifat-sifat
seperti laut yang selalu bergelombang, luas, tempat bermuaranya dan menampung
semua sungai yang mengalir kearahnya. Artinya tempat menampung semua pendapat
dari semua lapisan rakyatnya. Atau selalu bergerak dan bergelombang, artinya
selalu bersemangat bak laut yang bergelombang.
3) Alegori
Alegori adalah majas perbandingan
yang memperlihatkan suatu perbandingan yang utuh.
Alegori dalam sajak “Persetujuan
dengan Bung Karno” terlihat pada:
dipanggang
diatas apimu, digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”
Kiasan yang digunakan diatas adalah
seperti api dan laut dan senantiasa berjalan beriringan dengan Sang Pemimpinnya
menjadi satu urat dan satu zat,sesuatu yang tak terpisahkan sehingga
menggunakan kendaraan kapal-kapal untuk sampai pada tujuan yang sama.
4) Metafora-Simil (e)
Bila simile seakan perbandingan yang
ragu, maka metafora adalah penyamaan yang tegas. Bila simile berpola A seperti
B, maka metafora berpola A adalah Sesunguhnya metafora itu lebih luas
pembahasannya. Terlalu sempit tempat untuk metafora kalau ia hanya dibahas
sebagai sebuah majas atau gaya bahasa. Metafora menuntut tempat istimewa dalam
pembahasan Bahasa itu sendiri, secara luas. Metafora – dalam puisi – pun berhak
untuk diberi perhatian lebih untuk digarap secara amat serius.
Metafora-Simil (e) dalam sajak “Aku”
karya Chairil Anwar, yaitu:
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
a) Ada bait :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
aku tetap meradang menerjang
“Aku” ini (adalah) “binatang
jalang”. Metafora ini dihadirkan Chairil setelah dalam dua bait sebelumnya dia
jelaskan apa yang ia tekadkan. Metafora itu mempertegas dan sekaligus
dipertegas oleh kehadiran dua bait itu: Kalau sampai waktuku / kumau tak
seorang kan merayu / Tidak juga kau // Tak perlu sedu sedan itu.
b) Ada bait selanjutnya
masih merupakan bagian dari bangunan metafora “Aku” Chairil (adalah atau sebagai)
“binatang jalang” :
Luka dan bisa (a)kan (a)ku (karena
aku adalah binatang yang jalang) -bawa berlari/ Berlari / Hingga hilang
pedih peri
Lebih dari sebagai majas, metafora
dalam sajak ini adalah bangunan utama, yang mengukuhkan tegak berdirinya sajak.
Tenaga sajak ini akan lembek kalau Chairil memilih menggunakan majas simile:
Aku ini seperti binatang jalang.
5) Sinekdoki pars pro
toto
Sinekdoki pars pro toto adalah
semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk
menyatakan keseluruhan. Sinekdoki pars pro toto dalam sajak “Catetan TH. 1946”
karya Chairil Anwar, yaitu:
CATETAN
TH. 1946
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita
– anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara
sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan
kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu,
Kita memburu arti atau diserahkan pada anak lahir sempat,
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!!
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu,
Kita memburu arti atau diserahkan pada anak lahir sempat,
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!!
Dalam sajak “Catetan TH. 1946”
tersebut pada baris pertama dipergunakan sinekdoki pars pro toto yaitu “tangan”
untuk menyatakan keseluruhan diri si aku. Tangan yang jemu terkulai menyatakan
diri si aku yang tak berdaya. Dipergunakan itu karena tangan itu merupakan
pusat kekuatan bekerja. Jika tangan terkulai berarti seluruh diri akan tak
berdaya, dalam arti orang sudah tidak dapat bekerja dan berusaha lagi. Begitu
juga suara (bait pertama baris ketiga) menyatakan orang yang memiliki suara
itu, yaitu kekasih, istri, anak, atau orang-orang yang dicintai. Suara
merupakan pusat perhatian yang paling menarik hati si aku, maka itulah yang
ditonjolkan. Lebih jauh lagi, suara yang dicintai itu dapat berarti suara-suara
kehidupan sendiri yang dicintai oleh si aku, suara-suara kehidupan yang
membuatnya hidup.
Analisis matrik atau kata kunci
dalam “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)”
Matrik atau kata kunci yang terdapat
dalam “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” terletak pada
kata “Aku”. Seperti yang terdapat dalam sajak “Aku” dan “Persetujuan Dengan
Bung Karno”, kata “Aku” mempunyai arti dan kekuatan yang sangat kuat, yakni
menunjukkan vitalisme (semangat perjuangan) yang ada dalam diri Chairil Anwar.
Semangat kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, memang seakan
melekat pada citra Chairil Anwar (1922-1949). Chairil aktif berpuisi pada zaman
revolusi, sebuah kurun mahagenting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam merebut
dan mempertahankan kemerdekaan. Vitalisme yang terdapat dalam diri Chairil
Anwar yaitu terletak pada semangat perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan
bangsa. Sajak yang mengandung tema vitalisme atau semangat antara lain sajak
“Aku”.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Puisi Chairil adalah semangat
merebut hidup yang pastilah tidak mudah, apalagi bagi penyair yang penuh
kesulitan hidup ini. Bahkan meskipun dia berbicara tentang sesuatu yang
perih-pedih, semangat hidupnya tetap terasa menggelora. Adalah karakter penyair
ini tampaknya, bahwa dia tidak mudah menyerah melawan hidup yang begitu pedih.
Puisi “Aku” jelas menunjukkan itu. Chairil sebagai seorang yang memiliki
semangat tinggi yang ditunjukkan dengan pernyataan sikap “mau hidup seribu
tahun lagi”.Dalam karya sajak “Aku”, Chairil begitu tak terbendung. Sikapnya
yang tidak mau peduli dan ingin hidup seribu tahun lagi adalah pernyataan sikap
seorang vitalis. Ia tidak mau menyerah terhadap apa pun yang menghalangi
maunya. Tak mau menyerah pada “kau lirik”, juga tak mau menyerah pada luka dan
bisa yang menghalangi. Bahkan oleh Chairil, luka dan bisa itu masih dapat ia
bawa berlari semampunya. Semua itu akan berakhir bila Chairil sudah merasa
hilang pedih peri, dalam bahasa kita biasa dikatakan sebagai mati. Maka tidak
heran memang bila sajak ini adalah salah satu sajak paling pas untuk masa itu
yang penuh dengan suasana tekanan penuh kolonial.
B.Analisis Semiotik
Analisis semiotik adalah analisis
sajak yang bertujuan memahami makna sajak.Menganalisis sajak adalah usaha
menangkap dan memberi makna kepada teks sajak.Dalam analisis semiotik ini
menggunakan analisis matrik atau kata kunci yang terdapat dalam sajak,analisis
heorustik dan hermeneutik atau penafsiran interprestasi/pemahaman teks yang
akan dianalisis tentang vitalisme (semangat perjuangan) yang terdapat pada
“Kumpulan sajak-sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalan)”.
Vitalisme itu sendiri merupakan
konsep semangat perjuangan yang ada pada diri Chairil Anwar.Vitalisme itulah
yang akan membuat setiap seniman menjadi para perintis zaman.Dalam analisis
semiotik ini juga menganalisis hubungan intertekstual.Kajian intertekstual
dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks(lengkapnya teks kesastraan
yang diduga mempunyai bentuk bentuk hubungan tertentu.Misalnya,untuk menemukan
adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide,gagasan
peristiwa,plot,penokohan dan gaya bahasa diantara teks-teks yang dikaji.Secara
lebih husus dapat dikatakan bahwa kajian intrinsik berusaha menemukan
aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan pada karya
yang muncul kemudian.
C. Aliran Relegius
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah
mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas
Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya : Rafidhah
(Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah,
Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah
firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita
darinya.
Setelah membawakan perkataan Ibnu
Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan
mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah
itu memiliki beberapa ciri, di antara cirinya adalah :
- Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
- Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
- Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama).
Kemudian Syaikh al-‘Utsaimin
menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut
ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain.
Mereka itu adalah :
Pertama
Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di jaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya.
Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di jaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya.
Kedua
Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallahul musta’an
Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallahul musta’an
.
Ketiga
Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan,
Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan,
Keempat
Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
Kelima
Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
Keenam
Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan al-Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.
Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan al-Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.
Ketujuh
Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
Kedelapan
Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan al-Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan al-Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu : hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau.
Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan al-Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan al-Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu : hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau.
Syaikh Abdur Razzaq al-Jaza’iri
hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa
firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di
antara firqah sesat lainnya adalah : Kaum Shufiyah dengan berbagai macam
tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan
berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar bertahazzub
(bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti
contohnya : Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak
negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya
pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red), Jama’ah Tabligh dari India
yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk
pengusung paham Khawarij tulen, kelompok al-Jaz’arah, begitu juga (gerakan)
al-Ikhwan al-Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional
(bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz
Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul
Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri
(yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka
masih banyak lagi.” (lihat al-Is’ad fii Syarhi Lum’atul I’tiqad, hal. 91-92,
bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik
jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku ‘Jama’ah-Jama’ah Islam’ karya
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah
TUHAN
Tuhan
Aku
tak sanggup berdiri di bumimu
Telapak kakiku kotor diantara debumu Di
tengah malam tak ada tangis penebus dosaku
Tuhan
Aku tak sanggup memendang rumahmu Berkahilah
cahaya dari jutaan doa
Namun sayang tak ada aku diantara mereka
Tuhan
Aku tak sanggup menyebutmu Kalammu begitu amatlah luas Lidahpun tak
mampu mendefinisikanmu
Tuhan
Ampuni aku Dalam bijak Dan kuasamu
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis Struktural dan
Semiotik pada “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” dapat
disimpulkan bahwa dalam analisis struktural dari segi gaya kepuitisan yang
meliputi diksi atau pemilihan kata, bahasa kiasan.
Diksi atau pemilihan kata yang
dianalisis dalam sajak “Krawang-Bekasi” sangat jelas, lugas, juga penuh dengan
ketegasan atau keterus terangan dari Sang Penyair. yang digunakan oleh penyair
Chairil Anwar ini sangat penuh dengan vitalisme. Hal itu dapat dilihat dari
makna dan semiotika yang dibangkitkan dengan sengaja, Diksi atau pilihan kata
yang digunakan oleh penyair Chairil Anwar pada sajak “Aku” ini juga sangat
terlihat pada kemantapan dan semangat (vitalisme) yang menunjukkan ketegasan
seperti: ‘ku mau, tak perlu sedan itu, aku tetap meradang, aku akan akan lebih
tidak peduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi; juga ditandai oleh bunyi
vokal yang berat: a dan u yang dominan.
Bahasa kiasan yang digunakan seperti
personifikasi dalam sajak “Persetujuan Dengan Bung Karno” terlihat pada “Kami
sekarang mayat, Berikan kami arti” disini terlihat makna seakan-akan mayat yang
secara sifatnya tidak dapat birbicara,tetapi oleh Sang Penyair “Mayat” tersebut
dapat berbicara seperti manusia hidup dan berpesan “Berikan kami arti” dan
seterusnya. Dalam sajak “Persetujuan Dengan Bung Karno” Metafora itu
terlihat pada “Aku sekarang api aku sekarang laut”, disini Sang Penyair
mengibaratkan dirinya seperti laut dan api, mempunyai sifat-sifat seperti api
yang selalu membakar dan panas. Dalam sajak “Persetujuan Dengan Bung Karno”
kiasan yang digunakan seperti api dan laut dan senantiasa berjalan beriringan
dengan Sang Pemimpinnya menjadi satu urat dan satu zat,sesuatu yang tak
terpisahkan sehingga menggunakan kendaraan kapal-kapal untuk sampai pada tujuan
yang sama. Metafora yang dihadirkan Chairil dalam sajak “Aku” setelah dalam dua
bait sebelumnya dia jelaskan apa yang ia tekadkan. Metafora itu mempertegas dan
sekaligus dipertegas oleh kehadiran dua bait itu: Kalau sampai waktuku / kumau
tak seorang kan merayu / Tidak juga kau // Tak perlu sedu sedan itu. Dalam
sajak “Catetan TH. 1946” tersebut pada baris pertama dipergunakan sinekdoki
pars pro toto yaitu “tangan” untuk menyatakan keseluruhan diri si aku.
B.
SARAN
Demikianlah
persembahan Makalah ini,semoga apa yang tertera dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.Kami sadar makalah ini jau dari sempura maka segala
krintik dan saran dari pembaca salalu
kami harapkan demi perbaikan Makalah kami ke depan
DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi.2009
Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Pres. Waluyo, Herman J.
Teori dan Apresiasi Puiasi. 1995. Surakarta: PT Gelora Aksara
Pratama
Rosidi, Ajip. Puisi Indonesia Modern. 2008 Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya
W.M. Abdul Hadi. Kembali ke AkarKembali ke Sumber: Esai-Esai
Sastra Profetik dan Sufistik. 1999 .Jakarta: Suber Firdaus
Abrar, Yusro.
Amir Hamzah Sebagai Manusia da Penyair. 1996.jakarta: Dokumen HB. Jassin.
0 comments :