BAB
I
PENDAHULUAN
A. Sastra, Kehidupan, dan Kemanusiaan
Sastra
adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Para pakar beranggapan
bahwa teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat
sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra
menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan
sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Salah
satu bentuk karya sastra paramodern yang saring dijumpai adalah cerita rakyat,
ada yang hidup dan berkembang dalam tradisi lisan dan ada dalam tradisi tulis.
Cerita rakyat adalah suatu cerita yang pada dasarnya disampaikan oleh seseorang
kepada orang lain melalui penuturan lisan (oral traditional) atau tertulis
dianggap oleh masyarakat pernah terjadi pada masa lalu; atau merupakan hasil
rekaan semata karena terdorong oleh rasa keinginan menyampaikan itu merupakan
sebuah escapism dari masyarakat yang hidupnya penuh penderitaan (Udin, 1985).
B.
Apa Itu Strukturalisme?
Dalam
Pandangannya, Scholes (1974) menjelaskan bahwa struktralisme merupakan sebuah
tanggapan terhadap kebutuhan, Caudwell menyatakan bahwa strukturalisme
merupakan sebuah sistem yang koheren dan mampu mempresentasikan ilmu-ilmu
modern yang bisa mengatur dan mengolah dunia menjadi lebih baik dan layak untuk
dihuni oleh manusia. Juga Caudwell menganggap bahwa Marxisme mampu memenuhi hal
tersebut.
Marxisme
merupakan sebuah ideologi, sedangkan Strukturalisme saat ini hanya dianggap
sebagai metodologi yang mempunyai implikasi-implikasi ideologis. Strukturalisme
merupakan sebuah metode yang mencoba mencari/meneliti penyatuan seluruh ilmu ke
dalam suatu sistem kepercayaan baru. Hal inilah yang menyebabkan implikasi
ideologiknya sangat kuat pengaruhnya bagi kita.
Marxisme
dan strukturalisme memberikan nilai tertentu dalam tanggapannya, terutama yang
berkaitan dengan masalah epistimologi, khususnya relasi subjek kemanusiaan
dengan persepsinya dan sistem linguistik, demikian pula dengan dunia objektif.
Caudwell sendiri mempunyai respon dialektikal terhadap masalah pikiran/dualisme
materi; baginya materi dan pikiran mempunyai status yang nyata.
- Objek-objek berada dalam keadaan yang pas satu sama lain seperti rangkaian rantai;
- Objek -objek berhubungan tetap satu sama lain;
- Dengan cara yang tetap objek-objek dihubungkan dengan keadaan yang merupakan struktur keadaan (state of affaeres) itu sendiri; dan lain-lain (Scholes, 1974)
State
of affaeres harus diungkapkan
dengan kalimat dan bukan kata. Studi tentang kalimat membawa pakar
bahasa tertentu seperti Noan Comsky untuk menyimpulkan bahwa setiap orang
cenderung memanfaatkan kemungkinan kebahasaan mereka dalam cara-cara tertentu
dengan halus. Kaum formalis Rusia dan pengikut strukturalis dalam kritik
sastranya, mereka berusaha menemukan prinsip-prinsip yang universal dalam
membentuk/ membangun pemakaian bahasa dan sastra, dari konstruksi sintaksis
fiksional kepada para-digma-paradigma puisi sehingga lahir konsep "tatanan
kata" Northrop Frey dan konsep "sistem sastra" Claude
Guillen. Meskipun demikian, aktivitas kaum strukturalis lebih banyak diarahkan
pada studi linguistik yang mendapat dorongan dari Saussure, Jacobson, dan pakar
lainnya.
C. Hubungan Strukturalisme dengan
Hermoneutlka
Pandangannya
dalam konteks tragedi, khususnya dalam
pasal mengenai plot lebih bersifat struktural. Dalam tragedi
yang penting adalah
action atau tindakan,
bukan character atau watak. Efek
tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya, dan untuk menghasilkan efek yang baik
plot harus mempunyai keseluruhan, wholeness', untuk itu harus memenuhi empat
syarat utama, yang dalam terjemahan Inggris disebut order, amplitude, atau
complexity, unity and connection atau coherence. Order berarti urutan dan aturan:
urutan aksi harus teratur dan masuk akal. Amplitude (atau complexity)
yaitu karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang
masuk akal dan dapat menyajikan perubahan nasib tokoh. Uniti berarti bahwa
semua unsur dalam plot harus ada, dan tidak bisa bertukar tempat tanpa
mengganggu keseluruhannya.
Connection
atau
coherence berarti sastrawan seharusnya menyajikan hal yang mungkin atau
harus terjadi dalam rangka keseluruhan plot itu. Justru hal ini merupakan
perbedaan hakiki antara sastrawan dan sejarawan: sejarawan
menceritakan yang
terjadi, sedangkan
sastrawan menceritakan peristiwa
atau kejadian yang masuk
akal atau harus
terjadi, berdasarkan tuntutan konsisterisi dan logika ceritanya. Dalam
hubungan ini juga dibicarakan masalah efek estetik: alangkah baik kalau
peristiwa yang merupakan plot itu,
walaupun mempunyai konsistensi dan koherensi, namun mengadakan
kejutan pada pembaca yang pada awalnya tidak sadar akan koherensi peristiwa
plot tersebut.
Marxisme adalah sebuah ideologi; strukturalisme
saat ini hanyalah sebuah metodologi yang berimplikasi ideologi (“Marxism is and
ideology. Structuralism is at present only a methodology with ideological
implication”). Mengenai hubungan antara hermeneutik dengan structuralisme,
Scholes menjelaskan bahwa tampaknya strukturalisme dan hermeneutic tidak
memiliki pertentangan secara oposisi, tetapi justru saling melengkapi antara
keduanya.
Teori
Aristoteles ini menjadi acuan sebagai konvensi dasar seni sastra universal oleh
para ilmuwan sastra dan sastrawan, maupun oleh pembaca di Barat; dan kemudian
menyebar ke negara-negara berkembang. Meskipun beberapa dari pandangan tersebut
di Cina dan India yang memiliki lingkungan kebudayaan berbeda justru konvensi
itu jauh lebih longgar, bahkan sama sekali tidak dipegang secara umum untuk
jenis sastra tertentu.
Dalam
pandangannya, Abrams (Pradotokusumo, 1986) dalam sejarahnya pendekatan kritis
terhadap karya sastra dapat dikelompokkan ke dalam empat aliran, yaitu:
1)
Pendekatan mimetik, yang menitikberatkan
kesemestaan; orientasi mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, cerminan,
atau pun representasi alam maupun kehidupan. Kriteria yang dikenakan pada karya
sastra adalah "kebenaran" representasi objek-objek yang digambarkan
atau pun yang hendaknya digambarkan.
2)
Pendekatan pragmatik, yang
menitikberatkan pembaca; orientasi pragmatik memandang karya sastra sebagai
sarana untuk mencapai tujuan pada pembaca (tujuan keindahan, jenis-jenis emosi,
atau pun pendidikan). Orientasi ini cenderung menimbang nilai berdasarkan pada
berhasilnya mencapai tujuan.
3)
Pendekatan ekspresif, yang
menitikberatkan penulis; dan orientasi ekspresif memandang karya sastra sebagai
ekspresi, luapan, ucapan perasaan sebagai hasil imajinasi pengarang,
pikiran-pikiran, dan perasaannya. Orientasi ini cenderung menimbang karya
sastra dengan keasliannya, kesejatiannya, atau kecocokan dengan visium atau
keadaan pikiran dan kejiwaan pengarang.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teori Sastra yang Relevan dengan
Pengkajian Puisi
a. Teori Pengkajian Puisi
Jacobson, Riffaterre, dan Todorov
Dalam
analisis semiotisnya, Jacobson berusaha membedakan pemakaian bahasa atas enam
fungsi, salah satu di antaranya yakni fungsi puitik seperti disebutkan
terdahulu. Menurutnya, fungsi itu* tidak biasa terdapat secara terisolasi;
dalam pemakaian bahasa mana pun juga biasanya salah satu dari enam fungsi itu
dominan, tetapi fungsi-fungsi yang lain pun selalu hadir secara sampingan.
Misalnya, kalau terpijak paku saya lalu menjerit "AduhT mungkin
sekali fungsi yang dominan ialah ekspresif atau emotif, menurut istilah
Jacobson, mengungkapkan rasa sakit; namun ada pula fungsi fatik dalam artian
bahwa saya mengadakan situasi komunikatif dengan barang siapa yang kebetulan
hadir; fungsi konatif, 'appeal" ada pula, yaitu saya juga minta
perhatian atau minta tolong, atau mengharapkan rasa sayang dari orang tadi;
bahkan fungsi referensial pun ada, sebab kata 'aduh' bukan jeritan
spontan saja; kata seru ini dalam bahasa Indonesia menjadi unsur bahasa yang
sistematik, yang misalnya dalam bahasa Belanda lain sekali (au!) (Teeuw
(1988).
Jacobson
(Selden, 1986) juga mengemukakan apa yang disebutnya "the
dominant" (yang dominan) dalam karya sastra. la memandang yang dominan
sebagai konsep kaum Formalis yang penting pada masa lampau, dan mengartikannya
sebagai komponen sebuah karya seni yang memusat: komponen itu mengatur,
menentukan, dan mentransformasikan komponen sisanya ("The
dominant" as an important late Formalist concept, and defined it as the
focusing component of a work of art: its rules, determines, and transforms the
remaining components"). Dengan demikian, sebuah fungsi yang tadinya
menonjol dalam sebuah puisi misalnya, jika unsur tersebut dihilangkan maka
unsur-unsur lain akan muncul dan memegang peranan yang dominan. Sebagai contoh,
urutan kata-kata arkaik yang dapat mengangkat sebuah puisi epik, atau fungsi
ironi dalam satire, jika dihilangkan maka unsur yang akan berperan dominan
(mungkin alur, tema, atau yang lain).
Kenyataan
menunjukkan bahwa Jacobson dan Levi-Strauss dalam analisisnya terhadap puisi
Charles Baudelaire yang berjudul Les Chats, eseinya dengan teliti
mengklasifikasikan ciri-ciri kesastraan serta peringkat-peringkat puisi
tersebut dalam tataran semantik, sintaksis, dan fgnologinya, hingga ke
fonem-fonem tertentu. Hal ini juga dikemukakan oleh Michael Riffeterre dalam
pernyataannya yang terkenal sehubungan dengan hal tersebut. Riffeterre
memperkembangkan teorinya dalam bukunya berjudul Semiotics of Poetri (1978),
di dalamnya ia mengatakan bahwa pembaca yang berkompeten melampaui arti
permukaan. Jika kita memandang sebuah sajak sebagai seutas tali pernyataan,
kita membatasi perhatian kita kepada artinya, yang sesungguhnya apa yang
dikatakan itu untuk menggambarkan satuan-satuan informasi. Jika kita hanya
memperhatikan arti sebuah puisi, kita mereduksinya menjadi seutas tali
rangkaian yang tak berhubungan (mungkin tanpa arti).
Dihadapkan
pada baiok ketidakgramatikalan itu pembaca dipaksa, selama proses pembacaan,
untuk mengungkapkan suatu tingkat makna kedua (yang kita anggap lebih tinggi)
yang mungkin menerangkan ciri teks tersebut. Dalam proses pembacaan, dia
mencoba merumuskan langkah-langkahnya seperti berikut:
1. Membaca dengan memahami arti biasa;
2.
Memahami unsur yang tampak tidak
gramatikal dan merintangi penafsiran mimetik yang biasa;
3.
Menemukan hipogram (atau kebiasaan) yang
mendapat ekspresi yang diperluas yang terdapat dalam teks;
4.
Menurunkan matriks dari hipogram atau
menemukan pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram
dalam teks itu.
Pendekatan
yang diterapkan oleh Michael Riffeterre jauh lebih sesuai dalam pembacaan puisi
yang sukar dan bertentangan dengan tata bahasa atau semantik yang normal.
Sebagai suatu teori pembacaan yang umum, teori ini banyak mempunyai kesukaran,
sekurang-kurangnya tidak mengizinkan beberapa jenis pembacaan yang engkau atau
aku mungkin berpikir sepenuhnya secara lurus saja, misalnya pembacaan puisi
untuk memahami pesan politiknya (Selden, 1986).
Selain
dari teori yang telah dikemukakan di atas, dalam hubungan dengan analisis
sastra (puisi), Todorov mengatakan bahwa secara umum dipahami bahwa teks sastra
yang ada dalam sejarahnya dapat didekati dengan sejumlah cara bergantung pada
tujuan apa seseorang mendekati sastra tertentu. la mencoba mengulas kembali
tiga pendekatan tradisional sebagai tolok ukur mere-ka dalam menganalisis karya
sastra. Pendekatan tersebut, yaitu: proyeksi (projection), komentar (commentary),
dan puitika (puitics). Selanjutnya, dia mengembangkan sebuah
pendekatan kritis yang disebutnya bacaan sederhana (simply reading).
Pembaca
mendekati karya sastra sebagai sebuah sistem dan berusaha menjelaskan keterkaitan
berbagai bagian di dalamnya. Dia juga membedakan pembacaan dari proyeksi dalam
dua hal: pertama, ia menerima otonomi sebuah karya dari sesuatu yang khusus,
sedangkan proyeksi justru tidak demikian; kedua, bahwa hubungan pembacaan
dengan komentar sangat erat karena komentar pada dasarnya merupakan pembacaan
secara atomis. Selanjutnya, Todorov mengajukan tiga asumsi utama terhadap
kritik deskriptif, yakni:
1) Deskripsi
mengasumsikan bahwa kategori wacana sastra bersifat tetap; 36 Mosaik Dasar
Teori Sastra.
2) Deskripsi
mempertahankan kategori linguistik, sebuah teks secara atomis berhubungan
dengan tingkat kesastraan;
3) Bagi
dekripsi, tatanan elemen dalam sebuah teks tidak terlalu penting; deskripsi
cenderung menurunkan struktur puitika dalam bentuk spasia (ruang/tempat).
Berdasarkan pada
anggapan tersebut, ia kemudian tiba pada suatu kesimpulan
bahwa kegiatan pembacaan dengan berbagai aktivitas yang berbeda tampaknya
saling berhubungan satu sama lain. Kita harus memahami masalah-masalah
interpretasi dan deskripsi itu sendiri. Tanpa praktek deskripsi misalnya, kita
tidak akan pernah bisa memahami aspek fonik atau gramatis teks-teks sastra.
Selain itu, ia juga menunjukkan
prosedur-prosedur pembacaan yang disebutnya superposisi dan figurasi.
Dia menganggap kedua hal tersebut paling esensial untuk menentukan dan
menganalisis hubungan sebuah teks dengan yang lain, atau
satu bahagian dengan
bahagian teks lainnya.
b.
Pengertian/Batasan Puisi
Puisi merupakan
salah satu bentuk
(genre) sastra yang berbeda
dengan bentuk prosa
atau drama. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi pun terdiri
dari beberapa jenis. Sebelum terlalu jauh membicarakan mengenai perihal
puisi, ada baiknya jika pengertian mengenai
hal itu didahulukan. Beberapa rumusan
mengenai puisi ditinjau
dari berbagai pendekatan dikemukakan oleh Semi antara lain: sebuah
pandangan dikemukakan oleh Mulyana berdasarkan pendekatan psikolinguistik, ia
menyimpulkan bahwa puisi adalah sintesis dari berbagai peristiwa bahasa yang
telah tersaring semurni-murninya
dan pelbagai proses
jiwa yang mencari hakikat pengalamannya, tersusun
dengan sistem korespondensi
dalam salah satu bentuk. Worsworth dalam tulisannya yang didasarkan pada
pendekatan struktural mengatakan bahwa puisi adalah kata-kata terbaik dalam
susunan terbaik ("poetry is the best wordsin the best order").
Berbeda
dengan pendapat Hunt yang memakai pendekatan emotif, ia mengemukakan bahwa
puisi merupakan luapan atau gelora perasaan yang bersifat imajinatif ("poetry
is imajinative passion"). Arnold, menggunakan pendekatan didaktis dan
mengatakan bahwa puisi merupakan kritik kehidupan ("poetry is the
criticism of life"). Sebuah pendekatan perbandingan antara prosa dan
puisi dikemukakan oleh Read yang mengatakan bahwa puisi lebih mengutamakan
intuisi, imajinasi, dan sentesis ("predominantly intuitive, imaginative
and sinthetic")
Dalam
pandangan struktural, secara garis besar puisi dapat dibagi ke dalam dua
bagian, yaitu struktur fisik atau metode puisi; dan struktur batin atau hakikat
puisi. Pada bagian berikut tulisan ini, secara ringkas akan dikemukakan kedua
masalah itu.
1. Struktur Fisik atau
Metode Puisi (Bentuk Puisi)
Struktur
fisik atau metode puisi meliputi diksi, pengimajian, kata konkrit, bahasa
figuratif (majas), verifikasi, dan tata wajah (Semi, 1988).
Diksi
(pilihan
kata) sangat penting bagi penyair. .Penyair harus cermat memilih kata, sebab
kata yang ditulis dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan
irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata
dalam keseluruhan puisi.
Pengimajian
adalah
kata/susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan.
Kata
konkret adalah kata-kata itu dapat menya-rankan arti yang
meyeluruh. Pengkonkretan kata berhubungan erat dengan pengimajian,
pelam-bangan, dan pengiasan.
Bahasa
figuratif (majas) adalah bahasa yang digunakan penyair untuk
mengatakan sesuatu dengan cara yang biasa, yakni secara langsung mengungkapkan
makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang.
Verifikasi
(rima,
ritma, dan metrum). Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi; ritma sangat
erat berhubungan dengan bunyi juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata
frasa, dan kalimat; sedangkan metrum berupa pengulangan tekanan kata yang
tetap.
Tatawajah
(tipografi). Tata wajah atau tipografi berkaitan erat dengan bentuk yang
khas sebuah puisi. Bentuk khas sebuah puisi seringkali berperan penting menciptakan
makna yang memikat.
2.
Struktur Batin atau Hakikat Puisi
(Isi Puisi)
Struktur
batin atau hakikat puisi meliputi tema/amanat (pesan), perasaan (feeling), nada,
dan suasana. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dijelaskan secara ringkas.
Tema
adalah
gagasan utama (pokok pikiran) yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau
gagasan sentral itu demikian kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi
landasan utama pengucapan atau penciptaan sebuah karya sastra. Lain halnya
dengan amanat (pesan), yakni hal yang mendorong penyair untuk menciptakan
puisinya. Amanatnya umumnya tersirat di balik kata-kata yang tersusun dan juga
berada dibalik tema yang diungkapkan. Amanat juga terkadang dikemukakan secara
tersurat, berupa jalan keluar atau jawaban dari persoalan dalam sebuah karya
sastra. Secara substansial tema berbeda dengan amanat, tema berhubungan dengan
arti sastra, sedangkan amanat berhubungan dengan makna sastra.
B. Teori Sastra yang Relevan dengan
Pengkajian Prosa Fiksi
a. Pokok-pokok Pikiran
tentang Narasi Prosa Fiksi
Pada
bagian berikut akan dijelaskan dasar atau latar pemikiran kaum strukturalis
dalam aliran romantis, khususnya dalam beberapa kritik sastra dan kaum romantis
Inggris, juga Scholes berusaha melihat pengaruh strukturalisme dalam sastra
modern, yang dapat dilihat dalam dua aspek yang saling berbeda. Di satu sisi,
tampaknya strukturalisme telah member! ide yang banyak kepada penulis, sebaliknya,
penulis sebagai pemikir sering berdiri di garis terdepan dalam proses intelektualnya.
Teori
Romantis tentang Fiksi adalah sebuah aliran yang bekerja dengan prinsip sastra
yang mengagumkan spontanitas luapan perasaan, sedangkan strukturalisme lebih
mengarah pada reduksi teks-teks sastra ke dalam berbagai rumusan yang mati,
atau kaku. Di samping itu, romantisme dan strukturalisme merupakan perkembangan
pemikiran yang kompleks secara konstan, sehingga menyulitkan untuk mengadakan
kategorisasi dengan jelas. Meskipun dernikian, kedua aliran mempunyai hubungan
yang sangat penting dalam pola pandangan mereka terhadap bahasa, sehingga strukturalisme
tidak akan pernah ada tanpa romantisme.
b. Pengertian/Batasan
Prosa Fiksi
Prosa
fiksi adalah cerita dalam pengisahan dengan rangkaian cerita tertentu
yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnnya yang terjalin dalam bentuk
cerita. Karya fiksi atau prosa fiksi dapat dibedakan dalam berbagai macam jenis
yaitu roman, novel, atau cerpen.
Prosa
fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun
biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasi hubungan antar
manusia. Pengarang mengemukakan hal tersebut berdasarkan pengalaman dan
pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan
dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan
penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Dalam kaitan ini, Wellek dan
Warren (1989) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi
kenyataan dan kesan yang meyakinkan
untuk ditampilkan, namun tidak
selalu merupakan kenyataan sehari-hari.
Batasan yang membangun
prosa fiksi antara lain:
1. Alur
Alur merupakan suatu narasi dari berbagai peristiwa.
2. Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan yang
beraksi atau menglami berbagai betuk peristiwa dalam cerita, baik peristiwa
fisik maupun peristiwa yang bersifat batiniah.
3. Latar
(setting)
Peristiwa yang berlangsung dalam
sebuah cerita, yang terjadi dalam suatu rentang waktu dan pada suatu tempat
tertentu.
4. Tema
dan amanat
Tema adalah gagasan sentral atau
gagasan yang dominan di dalam suatu karya sastra, sedangkan amanat adalah suatu
ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam karya
sastranya.
5. Sudut
pandang
Gagasan atau sikap batin pengarang
yang dijelmakan dalam karya sastranya.
C.
Teori Sastra yang Relevan dengan Pengkajian Drama
a. Pengantar
Pada
dasarnya, prosa fiksi dan drama memiliki bahan baku yang sama, yakni cerita.
Hanya saja, cara penyampaian keduanya yang berbeda. Prosa disusun dengan menempuh
cara deskripsi atau pelukisan, sedangkan drama disusun dengan teknik
penyampaian dalam bentuk dialog.
Dilihat
dari segi unsur yang membangunnya, hanya berbeda dalam satu unsur saja, yaitu
unsur dialog sebagai unsur terpenting dalam drama justru tidak termasuk sebagai
unsur yang membangun prosa fiksi, meskipun disadari bahwa dalam prosa fiksi pun
sering ditemukan bagian teks yang berisi dialog antar tokoh dalam cerita.
Sedangkan unsur lain, seperti tokoh/penokohan, tema, alur, latar, dan sudut
pan-dang memiliki banyak kesamaan meskipun dalam hal tertentu disadari berbeda.
b.
Pengertian Drama
Kata
drama berasal dari kata 'dramas' dalam bahasa Yunani, yang berarti suatu
perbuatan atau kumpulan pertunjukan kehidupan seseorang. Dalam bahasa Inggris,
kata drama ini dipadankan dengan kata action atau a thing done. Drama
ini tidak lain dari pada life presentated in action atau suatu segi
kehidupan yang dihidangkan dengan gerak.
Drama
adalah ragam bahasa sastra berbentuk dialog yang dimaksdukan untuk
dipertunjukan di atas pentas. Secara lebih khusus, 'drama lebih menunjuk pada
lakon yang mempermasalahkan unsur filsafat dan nilai susila yang agung dan
besar; sandiwara; lakon. Pandangan yang identik diungkapkan oleh Luxemburg
(1989) secara singkat bahwa drama terdiri atas ungkapan bahasa dan perbuatan
para pelaku.
Drama
sebagai karya sastra adalah teks yang terjelma dalam wujud naskah (ceritanya).
Drama sebagai karya sastra penciptaannya mempertimbangkan kebutuhan atau
kemungkinan teatrikal dan pementasan. Dunia dalam drama adalah dunia ten-tang
perselisihan kemauan, keinginan (kebutuhan), dan harapan. Cerita tentang
seorang protagonis (yang menginginkan sesuatu) dan seorang antagonis (yang
menjadi lawan atau perintang dalam memenuhi keinginan itu).
c.
Teks Drama dan Teater
Dipandang
dari sisi teks sastra, terdapat perbedaan antara naskah (script) drama
dan lakon (play) drama. Dalam konteks ilmu sastra teks drama adalah
bentuk tertulis dari cerita drama. Hal ini dapat dianalogikan dengan kasus
dalam dunia musik, yaitu meski kita mengenal istilah partitur, score yaitu
suatu bentuk tertulis musik menjadi terwujudkan setelah partitur, score dimainkan
sehingga terdengarlah alunan getar nada-nada yang disembunyikan dalam ruang dan
waktu tertentu. Begitu pula halnya dengan dunia drama, lakon adalah merupakan
hasil perwujudan naskah yang dimainkan. Ditegaskan pula bahwa sebuah lakon
dalam karya siapa pun, yang berkali-kali dimainkan ia selalu akan berubah
kualitas-nya tergantung dari siapa dan dimana dimainkan, sedangkan naskahnya
itu akan tetap kualitasnya.
Istilah
teater berasal dari Yunani yaitu theatreon, yang diturunkan dari kata theaoromi,
yang mempunyai arti takjub melihat atau memandang.
d.
Jenis-Jenis Drama
Seperti
halnya gendre fiksi, drama juga mengenal drama panjang dan drama pendek.
Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa drama panjang biasanya terdiri atas tiga
atau lima babak; mengandung cerita panjang, karakter yang beragam, dan juga setting
yang beragam pula. Jumlah tiga atau lima babak disesuaikan dengan tiga atau
lima tingkatan plot cerita, yakni pengenalan, konflik, klimaks, penguraian
masalah, dan penutup. Drama pendek hanya terdiri atas satu babak, dalam satu
babak itulah struktur cerita dan tingkatan tadi diselesaikan (Sumardjo dan
Saini KM (1997). Menurutnya drama dapat dibagi atas empat jenis, yaitu tragedi,
komedi, melodrama,.tragi-komedi, dan farce.
1.
Drama Tragedi
Tragedi
adalah drama yang berakhir dengan menyedihkan, biasanya sekurang-kurangnya satu
tokoh yang mati, action dan pemikirnya dilakukan dengan amat serius dan
respek pada setiap pribadi.
2.
Drama Komedi
Komedi
ialah suatu drama yang tokoh-tokohnya berada dalam situasi humor dan berakhir
dengan kebahagiaan. Komedi adalah sandiwara gembira, lawan tragedi dan ditulis
dengan gaya yang ringan yang sifatnya menghibur serta selalu berakhir dengan
bahagia.
3. Drama Tragikomedi
Drama
menggabungkan antara tragedi dan komedi. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa
drama yang merupakan paduan dua kecendrungan emosional yang sangat mendasar
pada diri manusia
4. Melodrama
Melodrama
adalah bentuk drama yang masih berhubungan dengan tragedi, hanya kurang unsur
tragedinya. Melodrama memungkinkan berakhir dengan kebahagian dan berakhir
dengan kesedihan. Melodrama adalah drama yang mula-mula berarti lakon romantik
yang disertai musik yang dalam perkembangan kemudian berarti lakon dengan alur
luas, dan sentimentil. Sekarang berarti lakon yang sangat dramatis dengan lakon
yang menggambarkan dan mendebarkan dengan penokohan hitam putih.
5.
Farce
Farce
secara umum dapat dikatakan sebagai sebuah drama yang bersifat karikatural.
Sebagai kisahan, ia bercorak komedi, tetapi gelak yang muncul itu sendiri
ditampilkan melalui ucapan dan perbuatan. Dalam konteks masa kini, banyak yang
menamakan farce dengan 'komedi situasi'
e. Beberapa Unsur Drama sebagai Karya Sastra
Aristoteles
menyatakan bahwa ada beberapa kaidah yang dituntut dalam sebuah drama, yaitu
adanya: kesatuan gerak (unity of action), kesatuan waktu (unity of
time) dan kesatuan tempat (unity of place). Ketiga kesatuan ini oleh
Aristoteles dianggap sebagai syarat dari sebuah drama. Akan tetapi, yang tetap
dianggap orang merupakan syarat adalah adanya kesatuan gerak, yaitu gerak
antartokoh dalanm drama tersebut merupakan kesatuan. Berpusat pada persoalan
dan amanat drama.
Aristoteles
kemudian menambahkan enam unsur dasar utama drama yaitu, plot, peran, pikiran,
dialog, musik, dan tata pentas. Pendapat lain dikemukakan oleh Adhyasmara
(1983) bahwa unsur intrinsik drama adalah: plot, lakon drama atau perjalanan
cerita, karakter atau perwatakan, dialog, penampilan ruang dan waktu (setting),
dan interpretasi kehidupan. Sebagai cerita, sastra drama memiliki
unsur-unsur cerita (1) perwatakan (2) dialog, (3) latar, dan (4) alur, dan (5)
aneka sarana kesastraan dan kedramaan".
B
III
PENUTUP
Karya sastra adalah
media alternatif yang dapat menghubungkan kehidupan manusia masa lampau, masa
kini, dan masa yang akan datang, juga dapat berfungsi sebagai bahan informasi
masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban manusia ke arah
kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan.
Sastra dalam arti modern
di Indonesia masih merupakan gejala pinggiran (marginal). Jalan yang tampaknya
buntu ini juga terjadi di Eropa, Australia, serta Jepan; dan satu-satunya
kemungkinan untuk menembusnya ialah kerja sama dan pembagian tugas antara
sarjana, guru, dan dengan seniman.
Karya sastra memiliki
peran yang cukup penting sebagai suatu lembaga atau institusi yang dapat
dijadikan acuan dalam memahami gejala sosial. Sastrawan dipengaruhi dan
mempengaruhi masyara-kat: seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya.
Dalam sejarahnya
pendekatan kritis terhadap karya sastra dapat dikelompokkan ke dalam empat
aliran, yaitu: 1) pendekatan mimetik, yang menitik-beratkan semesta; pendekatan
pragmatik, yang menitik beratkan pembaca; pendekatan ekspresif, yang menitikberatkan penulis; dan pendekatan objektif, yang
menitikberatkan karya sastra itu sendiri.
Hermeneutiaka dan
struktruralisme merupakan dua teori yang berbeda meskipun tidak memiliki
pertentangan secara oposisi, tetapi justru saling mendukung. Meskipun kenyataan
menunjukkan bahwa studi sastra akhirnya terbagi dua, yaitu: pertama, kritik
hermeneutika akan meneliti sastra yang hidup (kehidupan sastra). Sedangkan yang
kedua, yaitu kaum strukruralis akan meneliti kurung waktu dan ruang lingkup
sastra dalam semua bentuk dan jenis, semuanya diikuti dalam analisis
intersubjektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams,
M. H., 1953. The Mirror and The Lamp. USA: Oxford University Press.
Achmad, Kasim. 1990. Pendidikan Sen/ Teater.
Jakarta: Depdikbud.
Adhyasmara. 1983. Apresiasi Drama. Yogyakarta:
Nur Cahaya.
Aksa, Yati. 1990. Model Naratologi yang Diilhami
oleh Kaum Strukturalis (Makalah Disajikan pada Pekan llmiah). Fakultas
Sastra UNPAD-Bandung.
Alisjahbana,
Sekeloa. Takdir. 1985. Sen/ dan Sastra (Di Tengah-tengah Pergolakan
Masyarakat dan Kebudayaan). Jakarta: Dian Rakyat.
Atmazaki. 1990. llmu Sastra Teori dan Terapan. Padang:
Angkasa Raya.
'Boulton,
Marjorie. 1959. Anatomy of
Drama. London: Henky and Boston.
Brooks, Cleanth. 1980. T"ne Well-Wrought Urn
tip. New York: New York University Press.
Budianta,
Melani. 2002. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi). Magelang: Indonesiatera.
0 comments :