A. POTRET AWAL KOMUNITAS AMMATOA
Keanekaragaman suku-bangsa di Indonesia
memungkinkan terdapatnya pola-pola budaya dengan sistemnya masing-masing pada
tiap daerah. Dan itu melahirkan pola berpikir dan bertingkah laku menghadapi
lingkungan dan alam di dalam proses hidup dan kehidupan penduduknya.
Di antara suku bangsa yang ada, di
propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Bulukumba, Kecamatan Kajang, terdapat satu
kelompok masyarakat yang kokoh memegang tradisinya. Mereka mempertahankan pola
yang dilahirkan oleh sistem nilai budaya warisan nenek moyangnya dan cenderung
kurang (atau lamban) menerima, bahkan sebagian ditolak sama sekali hal-hal baru
(baca: modernisasi)
Mereka-dalam buku ini-diidentifikasikan
sebagai komunitas Ammatoa, kurang atau menerima
hal-hal di luar dari apa yang mereka dengar dan ketahui dari generasi
sebelumnya. Sikap dan pola berfikir dalam menghadapi kehidupan ini berorientasi
pada kepasrahan dan menerima nasib apa adanya. Mereka kurang aktif membuarkan
diri mengikuti kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dari upaya peningkatan mutu
kehidupan bernama pembangunan sebagai konsekuensi tuntutan zaman. Sikap ini
agaknya kurang cocok dengan jiwa pembangunan yang sedang digalangkan di negeri
ini. Ketidakcocokan dengan jiwa pembangunan itu masih merupakan hipotesis,
dugaan sementara yang perlu pembuktian.
Komunitas Ammatoa mudah dikenal karena
menampakkan ciri-ciri yang membedakannya dari kelompok sosial lainnya.
Spesifikasinya bukan saja nampak pada atribut yang dikenakan, seperti; baju
celana yang hampir menyentuh lutut, sarung, daster (ikat kepala yang dikenakan
bagi kaum lelaki) yang semuanya berwarna hitam, menggunakan kuda sebagai sarana
transportasi (mereka tidak mau naik mobil atau sepeda motor dan lebih memiliki
berjalan kaki sekalipun harus menempuh jarak yang cukup jauh; tetapi juga tata
cara hubungan sosial, tatacara memperlakukan alam serta tindak religinya yang
kesemuanya sangat khas.
Spesifikasi mereka merupakan akibat tak
langsung dari keterisoliran dari “dunia luar”, di samping oleh sistem nilai
yang mereka anut memuat sejumlah pantang yang apabila tidak diindahkan akan
menyebabkan hal-hal yang tidak dikehendaki. Dalam bahasa Konjo disebut husung (ganjaran yang berakibat sanksi
sosial sekaligus dipercaya akan berakibat buruk di “alam sana” bagi yang
melakukannya).
Sikap hidup dengan sengaja mengisolir
diri dengan maksud supaya terhindar dari perbuatan/tindakan yang tidak
dipasangkan (dalam bahasa Konjo: ako
kaitte-itte ri sahacinde tappanging, ri caula ta’timba’-rimab’) dan dengan
mengutamakan kehidupan “yang miskin” di dunia agar memperoleh imbalan
“kekayaan” dari Tuhan di hari kemudian, disebut prinsip Kamase-masea.
Kamase-masea
adalah suatu
konsepsi dengan muatan: Lambusu’ gattang,
sa’bara, dan apisona atau jujur, tegas, sabar, dan pasrah
sepasrah-pasrahnya. Prinsip ini diselimuti oleh ikatan-ikatan emosi yang
menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kepercayaan karena mengandung
nilai-nilai keramat yang disertai “imbalan” dan “sanksi” yang juga keramat.
Komunitas Ammatoa bersama sistem nilai
budayanya yang khas, menampilkan fenomena sosial tersendiri. Mereka cenderung
konservatif dan “membatasi diri” dari semua kegiatan yang mengutamakan tujuan
keduniaan (sekuler).
Dengan adanya keengganan semacam itu
bukan berarti mereka tertutup, tetapi lebih merupakan sikap sangat berhati-hati
dan selektif. Sikap semacam inilah yang dianggap oleh orang luar sebagai
“kolok” dan mengakibatkan “keterbelakangan” (sosial, ekonomi, pendidikan,
kesehatan); dan ternyata dalam realitas sosial mereka sepintas memperlihatkan
keadaan seperti itu.
Dalam kaitannya antara tujuan
pembangunan nasional Indonesia, yakni meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia dalam sektor ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, agama dan
kebutuhan dasar yang lain yang disesuaikan tuntutan zaman di satu pihak. Dan
fenomena sosial komunitas Ammatoa dengan prinsip kamase-masenya sebagai bagian dari keragaman bangsa melalui telaah
antropologis aspek-aspek yang berada di balik prinsip kamase-masea wawasannya (pengertian terhadap latar belakang prinsip
kamase-maseanya dapat diketahui,
sehingga citra “keterbelakangan” dan kolot” komunitas Ammatoa berubah). Lebih
khusus lagi bagi pihak pemerintah, dengan diketahuinya hal yang
melatarbelakangi kondisi kehidupan mereka, dapat dirumuskan langkah-langkah
penanganan di sertai pengambilan keputusan yang bijaksana. Kamase-masea adalah suatu pola sikap dan pola berpikir komunitas
Ammatoa yang menyangkut semua hal di dalam kehidupannya. Pola itu diilhami oleh
nilai-nilai yang dikandung dalam pasang.
Penggambaran ini adalah untuk
menjelaskan proses terbentuknya sikap hidup kamase-masea
dalam kehidupan mereka, baik sebagai makhluk yang sangat dominan. Pencapaiannya
melalui sikap hidup “menerima apa adanya, tidak materialis, rendah hati, dan
pasrah sepasrah-pasrahnya”.
Cita-cita yang bukan duniawi ini sukar
dimengerti tanpa mengetahui faktor pembentuk dan unsur-unsur dikandungnya.
Faktor pembentuk dan unsur-unsur kamase-masea yang akan dikemukakan, dimaksudkan agar
berguna membantu cara pandang dan pengertian mengenai “kamase-masea”. Selain itu, langkah-langkah yang akan diambil jika
dipandang perlu sehubungan dengan implikasi sikap hidup komunitas Ammatoa,
dalam peta pembangunan nasional Indonesia.
Kerangka konsep yang digunakan mengacu
terhadap Pasang sebagai sistem nilai
budaya komunitas Ammatoa. Kegiatan yang tampak dalam kehidupan mereka, adalah
kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan hidup yang bukan duniawi, melainkan
tujuan alam gaib (Berkumpul bersama “Tuhan dan Tu Salama” di tempat yang telah dijanjikan).
Sistem kepercayaan mereka adalah
menekankan usaha mengekang hawanafsu (tidak melakukan perbuatan a-moral yang
dapat merugikan orang lain. Juga tidak merusak alam, menaati aturan-aturan
pemimpin, jujur, tegas, sabar, merendah diri dan tidak cinta materi serta
pasrah sepasrah-pasrahnya) untuk mencapai tujuan keselamatan di alam gaib.
Pembatasn-pembatasan demikian di dalam
sistem kepercayaan mereka mengakibatkan “ketinggalan” di dalam beberapa segi
(sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan). “ketinggalan” itulah merupakan akibat
langsung dari prinsip kamase-masea.
Ø
Adalah tindakan pelanggaran bagi
seseorang tamu yang melewati pappamntulan
jika sedang bertemu, kecuali dengan seizin tuan rumah.
Ø
Papan untuk rumah dipasang horizontal
adalah simbol dari “jangan menghidupkan sesuatu yang sudah “mati” (pohon yang
telah dibuat menjadi papan dianggap sudah “mati”, sehingga posisinya tidak
boleh vertikal sama seperti ketika masih hidup. Ini bermakna larangan bertindak
yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Ø
Tiang tidak di lubang adalah
menghindari bahaya. Ini bermakna agar pemilik rumah terhindar dari bahaya
berupa penikaman atau bentuk kekerasan lainnya yang dapat menyebabkan “lubang”.
Ø
Tiang ditanam mempunyai makna bahwa
manusia harus selalu berhubungan dengan tanah merupakan, “ibu” manusia.
Ø
Letak dapur di depan maksudnya, agar
tamu mengetahui persiapan tuan rumah. Maksudnya, apabila dapur dinyalakan itu
pertanda tamu akan di jamu dan sebaiknya jangan pulang.
Ø
Versi lain menyebutkan bahwa penempatan
dapurnya pada bagian depan agar orang bisa melihat bahwa yang dimakan oleh
pemilik rumah bukan dari hasil yang tidak halal. Oleh sebab itu tidak perlu
disembunyikan. (sumber: Pasannai, Manta
Pemilik Kebudayaan Kecamatan Kajang).
Ø
Tiang di tanam mempunyai makna bahwa
manusia harus menaati dengan tanah yang menjadi sumber hidup dan kehidupan.
Tanah (bahasa Konjo: buttai adalah
“angrongta”.
Ø
Tempat cuci kaki/buang air kecil
diletakkan pada bagian depan rumah, mempunyai makna bahwa setiap masalah harus
dihadapi dengan kepala dingin.
Ø
Dapur yang juga terletak pada bagian
depan sebab “anjo tubattua parallui
naumbu-umbui api”. Agar tamu segera tahu kesiapan tuan rumah
menjamu. Menolak jamuan menyebabkan tuan rumah tersinggung atau merasa terhina.
Ø
Baik tiang untuk baris maupun lajur
(saluru) rumah berjumlah 4. Simbol ini mempunyai makna bahwa orang yang sudah
berkeluarga diapit oleh orang tua, yaitu Bapak, Ibu, dan kedua mertua.
Addalle mae ri bulu’ a anre’ na haji
punna addalle mar ri alluka. Artinya menghadap ke gunung tidak baik bia
berhadapan dengan lembah. (Puto Massaniga/45/1988)
Penempatan rumah seperti ini bermakna
agar rezeki yang berasal dari Tu Rie ‘A’ra’na (Ia dianggap berdiam di atas
ketinggian) dapat diterima secara langsung tanpa “singgah di tempat lain” yang
dapat menyebabkan rezki itu “tercemar”, tidak murni atau haram.
Pola pemikiran seperti disebutkan tadi
hampir tidak terlihat lagi, kecuali di Dusun Benteng, tempat terdiam Ammatoa.
Semakin jauh dari wilayah inti, pola pemukiman memanjang atau berderetan di
sebelah menyebelah jalan.
Khusus di Benteng sebagai daerah inti
wilayah Ammatoa, pola pemukiman berkelompok dan menghadap ke Barat. Hal ini
erat kaitannya dengan kepercayaan Patuntung.
B.
AGAMA
DAN KEPERCAYAAN
Desa Tena Toa menempatkan agama Islam
sebagai satu-satunya agama yang dianut masyarakat.
Meskipun Islam dianut 100 persen , akan
tetapi pelaksanaan syariat-syariat dalam Islam masih sangat kurang. Sembahyang
5 waktu, puasa, naik haji, serta ibadah-ibadah lain oleh sebahagian masyarakat
Desa Tena Toa teristimewa mereka yang mengidentifikasi diri sebagai “tua
kamase-masea”, hampir-hampir tidak
mengerjakannya.
Sehingga di Desa Tena Toa khusus di 5
dusun yang menjadi kawasan adat butta kamase-masea. Jarang dapat dilihat orang
sholat atau puasa. Padahal mereka tidak mau menerima sebutan bukan muslim.
Paradoksal ini terjadi akibat adanya bentuk pengalaman keagamaan (Islam) yang
dipadu (sinkretis) dengan kebiasaan-kebiasaan “Tu Mariolo”
C.
AMMATOA
DI MASA LAMPAU
Ammatoa adalah “Tu Mariolo” atau “Mula
Tua”, manusia pertama yang diciptakan Tu Rie’ A’ra’na di bumi yang pada waktu
itu hanya berupa laut maha luas dengan sebuah daratan menjulang. Tempat itu
menyerupai tempurung kelapa dan disebut Tombolo’
Tana yang mula-mula di cipta Tu Rie’
A’ra’na dikenal dengan nama Tana Toa atau tanah yang tua. Oleh Tu Rie’ A’ra’na
kemudian diciptakan seorang perempuan pendamping Amma (bandingkan dengan cerita Nabi Adam dan Hawa menurut
kepercayaan Islam) yang disebut Anrongta.
Amma atau Bapak dan dan Anrong atau Ibu inilah yang kemudian menjadi cikal
bakal manusia.
Konsep manusia pertama di Kajang ini
dan dibeberapa Daerah di Sulawesi Selatan, disebut Tomanurung, yang menjadi
awal keberadaan umat manusia. Makassar terdapat Tomanurung yang menjadi awal
keberadaan umat manusia.
Pada zaman dahulu,, ketika manusia
belum banyak menghuni bumi, sebutan Ammatoa belum dikenal. Yang ada ialah sanro atau sanro lohe, atau dukun (yang) sakti. Sanro lohe bukan hanya
sekedar sebagai dukun yang dapat mengobati penyakit, tetapi juga merupakan
tokoh pimpinan dalam upacara mengobati penyakit, tetapi juga merupakan tokoh
pimpinan dalam upacara ritual keagamaan atau pa’nganroang sekaligus sebagai pimpinan kelompok.
Sesudah manusia kian banyak dan
kebutuhan semakin berkembang seiring perkembangan dan tuntutan zaman, istilah
Amma mulai dikenal. Struktur organisasipun dibentuk dengan pembagian fungsi dan
tugas masing-masing. “pembagian” kekuasaan memang telah dikenal dalam pasang.
Amma mana’ ada’ : Amma melahirkan adat
Amma mana’ Karaeng : Amma melahirkan “pemerintah”
v
Pemilihan
Ammatoa
Jabatan pemimpin tertinggi di dalam
komunitas dipegang Ammatoa. Jabatan ini tidak diwariskan atau didasarkan kepada
garis keturunan, sehingga seorang anak Ammatoa tidak otomatis akan menduduki
jabatan bapaknya, melainkan melalui “seleksi” gaib dengan cara-cara sakral dan
amat rahasia.
Yang pasti bahwa untuk dapat terpilih
menjadi Ammatoa, seseorang harus memenuhi minimal 3 kriteria, yaitu:
Ø
Memiliki sifat-sifat “4 nilai baku”
(lambusu’, gattang, sa’bara’, dan apisona) yang menonjol.
Ø
Memiliki wawasan luas dan mendalam
mengenai “isi” yang dipasangkan.
Ø
Berasal dari “keturunan baik-baik”
(Konjo : Tu Kentarang; orang yang disinari bulan purnama).
Seseorang Ammatoa harus merupakan
manusia utama sebab ia bukan saja nipa’la’langngi
ri bahonna inne linoa (panutan di dunia), tetapi berkedudukan pula sebagai
“wakil” Tu Rie’ A’ra’na
D.
PERAN
AMMATOA DALAM KOMUNITAS
Fungsi dan peran Ammatoa menurut pasang adalah:
- Sebagai orang yang dituakan (amma, bapak, tao-toa). Ini berarti bahwa amma adalah pengayom dan suri tauladan bagi semua warga komunitas. Ia menjadi pelindung (sanro) jika terjadi bambang lantama lantama ujung latoro, atau apabila negeri dilanda wabah penyakit dan bahaya peperangan
Amma nilangngere’, nituruki, siagang
nipa’la’langngi.
Artinya:
Amma didengar nasihatnya, ditiru perbuatannya dan dijadikan
panutan
ako kalangngere’- kalangngere’, ako
kaitte-itte, ako katappa’-tappa’, rikarambu lalang, asu timuang, ako tappaki
Artinya:
Jangan (mudah) percaya dan terpengaruh pada “orang luar”,
sebelum ke saya (Amma).
- Sebagai penghubung manusia – Tu Rie’ A’ra’na dan Tu Rie’ A’ra’na manusia
Amma berkedudukan sebagai mediator yang
bertugas menghubungkan harapan-harapan keomunuitas dan gagasan keilahian dalam
harmonisasi mikro dana makro kosmos.
Antara harapan manusia dan gagasan keilahian “dipertemukan” (upaya
penyelarasannya melalui pa’nganroang)
Pasannai (53), mantan penilik
kebudayaan Kecamatan Kajang dalam wawancara dengan penulis tanggal 7 November
1988 dan H.M. Embas tanggal 10 November 1988 mengemukakan beberapa kolleha dan
tugas pokoknya:
Ø
Galla Pantama (timboro’na tanayya)
bertugas sebagai hakim.
Ø
Galla Lombo bertugas pada bidang
pertanian.
Ø
Galla Malleleng bertugas pada bidang
perikanan.
Ø
Galla Puto bertugas sebagai juru bicara
Ammato.
Ø
Galla Anjuru bertugas mengantar tamu
yang akan menghadap Ammatoa.
Ø
Galla Bantalang bertugas melindungi hutan
di Bantalang.
Ø
Galla Sapa bertugas melindungi hutan di
Sapayya dan menyiapkan bangunan untuk upacara adat.
Ø
Galla Sangkala bertugas melindungi hutan di
Sangkala.
Ø
Galla Ganta bertugas melindungi hutan
di Ganta (Hutan Bongo)
Ø
Tu Toa Sangkala bertugas pada bidang
pertanahan, khususnya di daerah Sangkala.
Ø
Tu Toa Gantang Bertugas pada bidang
pertahanan, khususnya di daerah Ganta.
Ø
Anrong bertugas mengatur
perlengkapan-perlengkapan dalam a’nganro.
Ø
Lompo Karaeng bertugas mengatur urutan paccidongang.
Ø
Lompo Ada’ bertugas mengatur urutan
hidangan menurut kedudukan adat.
E.
KEPERCAYAAN
PATUNTUNG
Kepercayaan Patuntung sengaja dibagi ke
dalam 2 periode pengertian dalam perkembangannya, yaitu Patuntung pra-Islam dan
patuntung pasca-Islam.
Kehidupan keagamaan komunitas Ammatoa
sekarang berada pada era/fase patuntung pasca-Islam sehingga patuntung
pra-Islam tidak menjadi fokus pembahasan berikut. Satu-satunya alasan mengapa
bagian ini sedikit disinggung adalah untuk memberikan gambaran bahwa apa yang
disebut (kepercayaan) patuntung yang dikonsepsikan oleh komunitas Ammatoa
sekarang ini bukanlah kepercayaan tradisional murni dan terbebas dari pengaruh
unsur kepercayaan dari luar (Islam). Di samping itu maksud dilakukannya
pemisahan ialah agar memudahkan melihat patuntung sebagai suatu sistem
kepercayaan dengan memperhatikan perspektif penganutnya (yang telah dicoraki
warna Islam).
Setelah agama Islam yang dibawa Janggo
Toa (dan kemudian disusul Janggo Tu Asara Dg. Mallipa, tetapi ajaran mereka
ditolak) diterima sebagai agama resmi di Tana kamase-masea (Oleh Bohe Sallang, Amma Toa I yang “menganut” Islam).
Kepercayaan patuntung sebagai budaya spritual komunitas Amma Toa telah
mengalami proses sinkretisasi sedemikian
rupa dalam penghayatan dan pengamalannya kemudian. Sehingga, kepercayaan
patuntung yang hidup dan tumbuh dalam wilayah Tu Kamase-masea bukan lagi budaya spritual tradisional murni, akan
tetapi sudah mendapat pengaruh ide spritual Islam.
Ungkapan yang paling jelas yang dapat
dijadikan dasar bahwa betapa sinkrelisasinya
patuntung – Islam ialah bunyi pasang: “guru
sara’ tangatappa’ ri patuntunga ta la assai keguruanna: guru patuntun
tangattappa’ ri guru sara’a ta ala assai kapatuntungannna”. Yang dapat
diterjemahkan, “ulama yang tak percaya
kepada (kepercayaan) patuntung, tidak sah pengetahuannya (tentang ajaran
Islam); dan seorang (guru) patuntung yang tak percaya kepada ulama, tidak sah
kepantuntungannya.
F.
MAKNA
Nilai moral yang terkandung dalam mitos Ammatoa:
Ø
Sebagai manusia yang berketuhanan mitos
adalah sesuatu yang muncul karena ketidaktahuan terhadap sesuatu maka kita
jangan sampai menjadi makhluk yang durhaka kepada Tuhan dalam arti musrik
kepada-Nya.
Ø
Kita harus pandai-pandai
mengklasifikasikan mana yang harus kita jadikan pedoman dalam hidup antara
kepercayaan terhadap mitos atau kepercayaan terhadap Tuhan yang maha esa.
Ø
Mitos adalah kebudayaan yang didasarkan
pada hal-hal gaib. Maka dari itu marilah kita memperbaiki persepsi kita bahwa
segala sesuatu itu datang dari Tuhan yang menciptakan langit dan bumi.
Ø
Sebagai manusia kita harus menghormati
apa yang ada dalam suatu kejadian yang benar ataupun Cuma dengan atau cerita
rakyat saja, tapi juga harus meyakini keadaan alam ghaib
Tugas IAD
Dosen : Hilmi Hambali, S.Pd
MITOS DAERAH
AMMATOWA
DISUSUN OLEH
HAERUL NURSYAMSU
10538 1168 09
I.C
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2009
0 comments :