kali aja ada teman teman yang butuh makalah tentang shalat,, nih aq post
- BAB I PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang Kata “Shalat”
- seringkali diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata “sembahyang”. Sebenarnya pengertian kedua kata ini mempunyai makna yang sangat berbeda. “Sembahyang” seringkali diartikan sebagai “Menyembah Sang Hiyang”, “menyembah Tuhan”. Kata “Sembahyang” seringkali dikaitkan dengan kegiatan tertentu yang dilakukan oleh umat beragama secara umum dalam rangka menyembah Tuhan mereka. Ini berarti bahwa kata “sembahyang” dikenal dalam semua umat beragama, baik Islam maupun lainnya, dengan secara umum menyembah Tuhan mereka, ini berarti kata sembahyang dikenal dalam semua umat beragama, baik Islam maupun lainnya, dengan cara pelaksanaan yang berbeda-beda. pengertian kata “Shalat” dalam Islam tidak persis sama dengan kata “sembahyang” yang dikenal dalam agama-agama lain. Kata “shalat” pada dasarnya berakar dari kata “shalat” yang berasal dari kata kerja, kata “shalat” menurut pengertian bahasa mengandung dua pengertian, yaitu “berdoa” dan “bersalawat”. Ini berarti bahwa ungkapan “saya shalat” dapat berarti “saya berdoa” yang dimaksud dalam pengertian ialah berdoa atau memohon hal-hal yang yang baik, kebaikan, kebijakan nikmat, dan rezeki, sedangkan “bersalawat” berarti meminta keselamatan, kedamaian, keamanan, dan pelimpahan rahmat Allah SWT. Shalat dalam pengertian di atas adalah doa yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah untuk meminta pengampunan dari segala dosa, untuk mensyukuri nikmat dan karunia yang diberikan Allah untuk meminta pengampunan dari segala dosa, untuk mensyukuri nikmat dan karunia yang diberikan Allah, untuk menolak kelaliman, dan untuk menegakkan suatu kewajiban ibadah dalam agama.
- BAB II PEMBAHASAN A.
- Kedudukan Shalat dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa : 1 “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa’ :103) Rasulullah SAW bersabda, “Islam dibangun atas 5 hal: Syahadat bahwa tidak ada Ilahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah kemudian mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan hajji ke Tanah Haram (Makkah) dan shaum di Bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim) Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan tingginya posisi shalat dalam Islam dan sebagai salah satu rukunnya yang terpenting setelah syahadatain. Shalat juga merupakan amal yang paling afdhal setelah syahadatain, hal ini dikarenakan shalat adalah satu-satunya ibadah yang paling lengkap dan paling indah yang mengumpulkan berbagai macam bentuk ibadah. Shalat juga merupakan ibadah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam kepada seorang muslim. Shalat lima waktu hukumnya fardhu ‘ain berdasarkan Al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. Allah memfardhukan shalat di malam mi’raj dari langit ketujuh. Hal ini menunjukkan tingginya kedudukan dan kewajiban shalat. Hadits-hadits yang menjelaskan tentang shalat 5 waktu beserta bilangan roka’atnya dan semua sifat gerakannya, telah mencapai derajat mutawatir ma’nawi. Dan segala sesuatu yang dinukil secara mutawatir itu harus diterima oleh setiap muslim dan siapa pun yang menentang atau menolaknya, maka ia kafir.
- B. Sejarah, Hikmah, dan Faedah Shalat Shalat mulai diwajibkan pada malam Isra’ dasn Mi’raj, malam 27 Rajab, lebih kurang lima tahun sebelum hijrah. Menurut hadits Rasulullah SAW, shalat pada mulanya ditetapkan jumlahnya 50 kali sehari semalam, lalu jumlah itu dikurangi sehingga menjadi lima sehari semalam. Ini berarti shalat lebih awal diwajibkan oleh Allah dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban lain. Shalat merupakan kewajiban yang paling besar setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya persoalan shalat ini, sehingga Rasulullah menyatakan bahwa untuk membedakan antara seorang Muslim dan seorang kafir adalah meninggalkan shalat. Ini berarti bahwa keislaman seseorang dapat diwujudkan dengan mengerjakan shalat. Shalat mengandung banyak faedah. Dengan shalat, seorang hamba melakukan ikatan perjanjian dengan Tuhannya, menyatakan kehambaanya kepada Allah, menyerahkan segala persoalan hanya kepada Allah, sambil mengharap keamanan, ketenangan (sakinah), dan keselamatan dan pangkuan Ilahi, yaitu jalan untuk mencapai kemenangan, keberuntungan, dan menjatuhkan diri dari segala kejahatan dan kesalahan. Seperti dalam sabda Nabi SAW yang berbunyi: “Apakah engkau tidak memperhatikan jika ada sebuah sungai yang mengalir di depan seseorang, lalu ia mandi di dalamnya lima kali sehari semalam” Nabi lalu bertanya apakah ada dakinya yang tertinggal? Sahabat menjawab : tidak ada sedikitpun yang tertinggal”. Rasulullah lalu bersabda: Demikian perumpamaan bagi shalat lima waktu itu, Allah menghapuskan dosa orang-orang yang melakukannya sebagaimana air mandi menghapus segala daki yang ada di badan seseorang. Shalat menimbulkan dampak yang amat besar, baik bagi individu maupun kelompok (masyarakat). diantaranya dampaknya terhadap individu adalah: 1. Untuk mendekatkan diri kepada Allah 2. Memperkuat jiwa dan motivasi 3. Untuk menyatakan kemahatinggian Allah 4. Menimbulkan ketenangan jiwa. 5. Menjatuhkan diri dari kelalaian mengingat Allah 6. Melatih seseorang untuk mencintai keteraturan dan kedisiplinan 7. Mengajarkan seseorang untuk memiliki sifat-sifat bijak, 8. Membiasakan diri untuk berpikir tentang hal-hal yang positif, 9. Melatih untuk membiasakan diri untuk bersikap positif, amanah, dan jujur. Diantara dampaknya terhadap masyarakat ialah: 1. Mengakui aqidah yang universal bagi setiap anggota masyarakat dan memperkuat jiwa mereka 2. Latihan untuk mengatur ketertiban dalam masyarakat, 3. Memperkuat rasa kebersamaan dalam kelompok, 4. Menanamkan ikatan persaudaraan yang kuat, 5. Menyatakan solidaritas sosial yang kuat, 6. Menyatukan persepsi sosial yang digambarkan sebagai satu tubuh, 7. Menyatakan fenomena kesamaan dan kesejajaran, 8. Memperkuat barisan dan ucapan, 9. Latihan untuk patuh terhadap persoalan-persoalan yang bersifat umum, 10. Untuk mencapai tujuan yang sama. Masih banyak dampak lain yang dapat ditimbulkan oleh shalat ini, baik bagi kehidupan individu maupun dalam masyarakat.
- C. Keharusan Melaksanakan Shalat Fardu Secara Berjamaah Telah sampai berita kepadaku bahwasanya banyak kaum muslimin yang mengabaikan dalam melakukan shalat wajib secara berjamaah, mereka berdalih dengan pendapat sebagian ulama yang menggampangkan hal ini. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan betapa besarnya permasalahan ini dan betapa sangat penting; dan tidak diragukan lagi bahwa mengabaikan shalat berjamaah adalah suatu kemungkaran yang sangat besar dan bahayanya pun fatal. Maka tugas dan kewajiban para ulama adalah memberikan penjelasan dan peringatan, terhadap pengabaian tersebut yang merupakan kemungkaran nyata, yang tidak boleh didiamkan. Dan sudah dimaklumi bersama, bahwasanya tidaklah layak bagi seorang muslim menganggap remeh suatu perkara yang kedudukannya dimuliakan oleh Allah di dalam Kitab Sucinya, dan diagungkan oleh RasulNya yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam. Berulang kali Allah Ta'ala menyebutkan shalat di dalam Kitab Sucinya, Dia tinggikan kedudukannya, Dia perintahkan agar memelihara dan melaksanakan-Nya dengan berjamaah. Dan Dia peringatkan bahwa meremehkan dan bermalas-malasan dalam melakukannya merupakan ciri (sifat) orang-orang munafiq, sebagaimana firman-Nya: “Peliharalah segala shalat (mu) dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusy”`. (Al-Baqarah; 238). Dan bagaimana manusia akan mengetahui bahwa seorang hamba memelihara shalat dan mengagungkannya, padahal ia telah meninggalkan shalat berjamaah bersama-sama saudara-saudaranya (kaum muslimin) dan menganggap remeh kedudukannya. Padahal Allah telah berfirman: "Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku`. (Al-Baqarah: 43) Ayat di atas secara tegas menjelaskan kewajiban melakukan shalat wajib dengan berjamaah dan menyertai shalat orang-orang yang shalat; dan sekiranya yang dimaksud oleh ayat tersebut hanya menegakkannya saja, maka tidak jelaslah korelasi gamblang pada ujung ayat (dan ruku`lah kalian bersama-sama orang-orang yang ruku`), karena Allah telah memerintahkan agar menegakkannya pada awal ayat. Pada ayat di atas Allah mewajibkan shalat berjamaah dalam kondisi perang dan penuh ketakutan, maka bagaimana dalam kondisi damai? Kalau sekiranya seseorang diperbolehkan meninggalkan shalat berjamaah, niscaya para tentara yang berbaris menghadang musuh dan orang-orang yang terancam serangan musuh itu lebih berhak untuk diperbolehkan meninggalkan shalat berjamaah. Oleh karena hal itu tidak terjadi (Baca: tidak diperbolehkan meninggalkan shalat berjamaah), maka dapat kita ketahui bahwa shalat berjamaah itu termasuk kewajiban yang sangat penting, dan tidak diperbolehkan bagi seorang pun meninggalkannya. Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Kalau sekiranya tidak karena istri-istri dan anak-anak berada di dalam rumah mereka, niscaya aku bakar rumah mereka." Di dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas`ud radhiyallahu 'anhu mengatakan: "Sesungguhnya kami telah menyaksikan, bahwa tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah (di masa kami) kecuali orang munafiq yang telah jelas kemunafikannya, atau orang sakit. Padahal ada di antara yang sakit berjalan dengan diapit oleh dua orang untuk mendatangi shalat berjamaah". Dan dia juga berkata: " Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengajari kami sunnah-sunnah agama, dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikumandangkan adzan di dalamnya". D. Hukum Orang Meninggalkan Shalat di Tinjau Dari Penyebabnya 1. Karena Udzur, seperti Tertidur, Pingsan dan Lupa Termasuk Mabuk. Para ulama sepakat tentang udzur-nya orang yang ketiduran, sehingga lupa tidak mengerjakan shalat, atau dalam keadaan sadar, namun lupa mengerjakannya, maka dalam kedua keadaan tersebut, ia wajib mengqadha’nya bila ingat, berdasarkan hadits, “Barangsiapa tertidur sehingga tidak mengerjakan shalat atau lupa, maka ia wajib mengqadha’nya ketika dia ingat. “ (H.R. Muslim) Adapun orang yang pingsan para ulama berbeda pendapat tentang wajib tidaknya dia mengqadha’ shalat. Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i tidak wajib mengqadha’, kecuali bila ia pingsan ketika shalat , sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan tidak wajib mengqadha, jika pingsannya lebih dari sehari semalam, sedangkan menurut madzhab Ahmad bin Hambal, ia wajib mengqadha’ nya secara mutlak karena orang pingsan biasanya tidak lama. Secara singkat ada dua pendapat mengenai wajib tidaknya orang pingsan mengqadha’ shalat; Menurut Jumhur Ulama: Tidak wajib mengqadha’ berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa beliau pernah pingsan selama sehari semalam dan tidak mengqadha’ shalat-shalat yang ditinggalkannya. (H.R. Malik) Menurut ulama mutaakhkhirin dari madzhab Hambali : Wajib mengqadha’ berdasarkan hadits ‘Ammar bin Yasir bahwa beliau pernah pingsan selama 3 malam lalu setelah sehat beliau mengqadha’ shalat-shalat yang ditinggalkannya. Menurut syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin rahimahullah bahwa pendapat yang benar adalah tidak perlu mengqadha’nya bagi orang yang pingsan, adapun orang yang hilang akalnya karena bius maka dia harus mengqadha’ shalat yang ditinggalkannya karena pembiusan itu atas pilihannya pribadi. 1. Karena sengaja, terbagi menjadi beberapa golongan yaitu; Orang yang meniggalkannya karena malas atau merasa berat tanpa meremehkannya dan dengan keyakinan bahwa shalat itu wajib atas dirinya, maka orang tersebut tidak dikatakan sebagai orang kafir yang keluar dari Islam kecuali setelah terpenuhinya dua syarat ; Imam atau penguasa setempat telah memperingatkannya untuk shalat dan dia menolak. Dia tetap tidak mau shalat sampai waktu shalat berikutnya hampir habis. Oleh karena itu seseorang yang meninggalkan shalat sekali saja tidak serta-merta dihukumi sebagai kafir karena boleh jadi orang tersebut mengira bahwa dia boleh menjama’ shalatnya di waktu shalat berikutnya. 2. Orang yang meninggalkannya karena tidak tahu bahwa shalat itu wajib atasnya. Orang tersebut tidak dihukumi sebagai kafir yang keluar dari Islam namun ia harus diberitahu tentang hukum meninggalkan shalat tersebut sampai menjadi jelas baginya. 3. Orang yang menentang wajibnya shalat atas dirinya (yaitu shalat 5 waktu dan shalat Jum’at), baik dia mengerjakan atau meninggalkannya, maka orang tersebut dihukumi sebagai kafir yang keluar dari Islam karena dia menentang sesuatu yang telah disepakati oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ kaum muslimin. Para ulama mengecualikan orang-orang yang baru masuk Islam yang menentang wajibnya shalat, namun orang itu harus diberitahu sejelas mungkin, sehingga apabila setelah itu dia masih menentang, selanjutnya dia dihukumi sebagai orang kafir yang keluar dari agama Islam. Dalil-dalil yang dipergunakan oleh para ulama dalam hal ini ialah sebagai berikut; Firman Allah dalam surat at-Taubah : 11 “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (Q.S.9:11)
- BAB III PENUTUP A.
- Kesimpulan Shalat merupakan kewajiban yang paling besar setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya persoalan shalat ini, sehingga Rasulullah menyatakan bahwa untuk membedakan antara seorang Muslim dan seorang kafir adalah meninggalkan shalat. Ini berarti bahwa keislaman seseorang dapat diwujudkan dengan mengerjakan shalat.
0 comments :